A. PENGERTIAN
Imunologi
adalah cabang ilmu biomedis yang berkaitan dengan respons organisme terhadap
penolakan antigenic, pengenalan diri
sendiri dan bukan dirinya, serta semua efekbiologis, serologis dan kimia
fisika fenomena imun. Lingkungan Di sekitar manusia mengandung berbagai jenis
unsur pathogen misalnya: bakteri, virus, jamur, protozoa dan parasit yang dapat
menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi yang terjadi pada manusia normal
umumnya singkat dan jarang meninggalkan kerusakan permanen. Hal ini disebabkan
tubuh manusia memiliki suatu sistem yaitu sistem imun yang melindungi tubuh
terhadap unsur-unsur patogen.
Reaksi
imunologis merupakan mekanisme yang berkaitan dengan pertahanan host terhadap
suatu antigen seluler ataupun non seluler. Respon imun seseorang terhadap
unsur-unsur patogen sangat bergantung pada kemampuan system imun untuk mengenal
molekul-molekul asing atau antigen yang terdapat pada permukaan unsur patogen
dan kemampuan untuk melakukan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan antigen.
Test imunologis secara in vitro
dapat digunakan sebagai test diagnostik
yang membantu diagnose suatu penyakit dan imunoprofilaksis secara luas.
Dalam 20 terakhir ini terlihat perkembangan yang sangat pesat dalam
bidang imunologi seluler dan molekuler. Penemuan-penemuan berbagai molekul yang
berperanan dalam inflamasi dan respons imun seperti mediator, sitokin dan
lain sebagainya telah dapat menjelaskan berbagai mekanisme respon
imun/inflamasi.
Pengetahuan imunologi yang maju telah dapat dikembangkan untuk menerangkan
patogenesis serta menegakkan diagnosis berbagai penyakit yang sebelumnya masih
kabur. Kemajuan dicapai dalam pengembangan berbagai vaksin dan obat-obat yang
digunakan dalam memperbaiki fungsi sistem imun dalam memerangi infeksi dan
keganasan, atau sebaliknya digunakan untuk menekan inflamasi dan fungsi sistem
imun yang berlebihan pada penyakit hipersensitivitas.
Pemikiran lain yang timbul dari kemajuan dalam bidang imunologi yaitu terapi
gen. Dengan menyisipkan gen yang defisien atau tidak ditemukan dalam tubuh,
diharapkan akan dapat memberikan responnya terutama dalam menanggulangi
penyakit defisiensi imun.
B. KONSEP DASAR IMUNOLOGI
1. Sistem Imunitas Tubuh
Yang dimaksudkan dengan ” sistem imun ialah semua mekanisme yang
digunakan tubuh untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan
terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup”.
Berbagai bahan organik dan anorganik, baik yang hidup maupun yang mati asal
hewan, tumbuhan, jamur, bakteri, virus, parasit, berbagai debu dalam polusi,
uap, asap dan lain-lain iritan, ditemukan dalam lingkungan hidup sehingga
setiap saat bahan-bahan tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan menimbulkan
berbagai penyakit bahkan kerusakan jaringan. Selain itu, sel tubuh yang menjadi
tua dan sel yang bermutasi menjadi ganas, merupakan bahan yang tidak diingini
dan perlu disingkirkan.
Kemampuan tubuh untuk menyingkirkan bahan asing yang masuk ke dalam tubuh
tergantung dari kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul-molekul asing atau
antigen yang terdapat pada permukaan bahan asing tersebut dan kemampuan untuk
melakukan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan antigen. Kemampuan ini dimiliki
oleh komponen-komponen sistem imun yang terdapat dalam jaringan limforetikuler
yang letaknya tersebar di seluruh tubuh, misalnya di dalam sumsum tulang,
kelenjar limfe, limpa, timus, sistem saluran nafas, saluran cerna dan
organ-organ lain. Sel-sel yang terdapat dalam jaringan ini berasal dari sel
induk dalam sumsum tulang yang berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel,
kemudian beredar dalam tubuh melalui darah, sistem limfatik, serta organ
limfoid yang terdiri dari timus dan sumsum tulang (organ limfoid primer ), dan
limpa, kelenjar limfe dan mukosa ( organ limfoid sekunder ), dan dapat
menunjukkan respons terhadap suatu rangsangan sesuai dengan sifat dan fungsi
masing-masing.
2. Pembagian Sistem Imun
Terdapat 2 sistem imun yaitu sistem imun nonspesifik dan spesifik yang
mempunyai kerja sama yang erat dan yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang
lain, sistem imun ini semuanya terdiri dari bermacam-macam sel
leukosit ( sel darah putih ).
a.
Sistem imun nonspesifik, disebut demikian karena telah ada dan berfungsi sejak lahir dan
merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai
mikroorganisme, serta dapat memberikan respon langsung terhadap antigen.
Sel-selnya terdiri dari sel makrofag, sel NK ( Natural Killer ) dan
sel mediator.
b.
Sistem imun spesifik, membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum
dapat memberikan responnya atau dengan kata lain sistem ini dapat menghancurkan
benda asing yang berbahaya bagi tubuh yang sudah dikenal sebelumnya ( spesifik
). Sel-selnya terdiri dari sel-sel limfosit T dan B.
Sistem imun spesifik terdiri dari sel limfosit , merupakan kunci
pengontrol sistem imun. Sebetulnya sistem ini dapat bekerja sendiri tanpa
bantuan sistem imun nonspesifik. Terdapat 2 macam yaitu: sistem imun
spesifik humoral ( sel B ), menghasilkan antibodi yang berfungsi sebagai
pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler virus dan bakteri, sedangkan sistem
imun spesifik seluler ( sel T ) untuk pertahanan terhadap bakteri yang
hidup intraseluler, virus, jamur, parasit dan
keganasan.
3. Lintas Arus Sel Limfosit
Sel limfosit berdiferensiasi dan menjadi matang di organ limfoid primer untuk kemudian
masuk dalam sirkulasi darah. Sel B diproduksi dan menjadi matang dalam sumsum
tulang sebelum masuk dalam darah dan organ limfoid sekunder. Prekusor sel T
meninggalkan sumsum tulang, menjadi matang dalam timus sebelum bermigrasi ke
organ limfoid sekunder.
Limfosit yang sudah ada dalam organ limfoid sekunder tidak tinggal di sana,
tetapi bergerak dari organ limfoid yang satu ke organ limfoid yang lain,
saluran dalam sistem limfatik dan darah ( GAMBAR ). Dari sirkulasi limfosit memasuki organ limfoid sekunder atau
rongga-rongga organ dan kelenjar limfe. Resirkulasi tersebut terjadi terus
menerus. Keuntungan dari resirkulasi limfosit tersebut ialah bahwa sewaktu
terjadi infeksi alamiah, akan banyak limfosit berpapasan dengan antigen asal mikroorganisme.
Keuntungan lain dari resirkulasi limfosit ialah bahwa bila ada organ limfoid
misalnya limpa yang defisit limfosit karena infeksi, radiasi atau trauma,
limfosit dari jaringan limfoid lainnya melalui sirkulasi akan dapat dikerahkan
ke dalam organ limfoid tersebut dengan mudah. Hanya iradiasi yang mengenai
seluruh tubuh akan dapat menghentikan pertumbuhan sel sistem imun seluruhnya.
Pada keadaan normal ada lintas arus limfosit aktif terus menerus melalui
kelenjar limfe, tetapi bila ada antigen masuk, arus limfosit dalam kelenjar
limfe akan berhenti sementara. Sel yang spesifik terhadap antigen ditahan dalam
kelenjar limfe untuk menghadapi antigen tersebut dan hal ini akan menimbulkan
kelenjar bengkak yang sering terjadi pada infeksi.
4. Sitokin atau Interleukin
Pada reaksi imunologik banyak substansi yang bekerja serupa hormon
yang dilepaskan oleh sel leukosit, yang berfungsi sebagai sinyal
interseluler yang mengatur respon imunologi lokal maupun sistemik terhadap
rangsangan dari luar. Substansi tersebut secara umum dikenal dengan nama sitokin,
yang kemudian pada tahun 1979 nama yang disepakati adalah interleukin ( IL )
yang berarti adanya komunikasi antar sel leukosit.
Sitokin yang diproduksi dan bekerja sebagai mediator pada imunitas
nonspesifik misalnya IFN ( interferon ), TNF ( Tumor Necrotic Faktor ) dan
IL-1 sedang yang lainnya terutama berperanan pada imunitas spesifik. Pada
yang akhir sitokin bekerja sebagai pengotrol aktivasi, proliferasi dan
diferensiasi sel. Produksi sel sistem imun dikontrol oleh sitokin yang juga
mengatur hematopoiesis yang secara kolektif disebut Colony Stimulating
Factor ( CSF ). Sitokin merupakan messenger kimia atau perantara
dalam komunikasi interseluler yang sangat poten. Dewasa ini lebih dari
100 jenis sitokin yang sudah diketahui.
C. PERKEMBANGAN IMUNOLOGI
1. Konsep baru sistem imun
Pandangan sekarang: “ sistem imun tidak hanya berfungsi sebagai
pertahanan tubuh tetapi sistem imun juga sebagai organ sensor seperti susunan
saraf pusat ,yang bekerja sama dengan sistem neuroendokrin untuk mempertahankan
homeostasis”. Sebelum menjadi konsep baru teori ini dinyatakan dalam
bentuk hipotesis oleh Husband (1995 ). Hal ini disebabkan adanya fakta-fakta
yang menunjang /mendukung hipotesis tersebut yaitu, bahwa sekitar 100 tahun
yang lalu ilmuwan fisiologi dari Perancis yaitu Claude Bernard
mengobservasi tentang “ La fixite du milieu interieur est la condition de la
vie libre”. Selanjutnya oleh ilmuwan fisiologi dari Amerika yaitu Walter B
Cannon ( 1939 ), diterjemahkan sebagai homeostasis yang kemudian didefinisikan
sebagai suatu proses fisiologi di dalam tubuh yang diperantarai oleh sistem
saraf pusat untuk mengontrol pergerakan dan komposisi cairan, pertumbuhan dan
perbaikan jaringan, pemanfaatan energi dan menjaga agar suhu tubuh tetap
konstan, yang kemudian sering disebut sebagai aktivitas untuk bertahan atau “cybernetics”.
Untuk menguji kebenaran dari hipotesis tersebut di atas maka ditetapkan 3
kriteria yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Harus ada regulasi antara sistem imun dan
sistem saraf pusat, karena sistem saraf pusat ini merupakan mediator pada
proses homeostasis.
2. Interaksi antara ke 2 sistem tersebut
harus berlangsung 2 arah.
3.
Regulasi dari sistem imun juga harus berpengaruh pada proses fisiologi lainnya
2. Regulasi sistem imun dan sistem
neuroendokrin
Ada bukti-bukti yang menunjukkan Susunan Saraf Pusat berpengaruh atas
fungsi sistem imun baik langsung atau tidak langsung melalui sistem endokrin
atau hormon, yaitu:
Inervasi jaringan limfoid: Timus, limpa dan kelenjar limfe
menerima inervasi simpatetik non adrenergik yaitu
mengontrol aliran darah melalui jaringan limfoid, jadi pasti akan mempengaruhi
arus lintas limfosit (sistem imun spesifik).
Pituitrin/aksis Adrenal: Stres dapat mempengaruhi
penglepasan hormon adrenokortikotropik ( ACTH ) dari pituitrin. Hal ini
akan melepas glukokortikoid yang bekerja imunosupresif. Juga limfosit
memproduksi steroid sebagai respon terhadap corticotrophin-releasing factor,
dan medula adrenal melepas katekolamin yang dapat mengubah gambaran
migrasi leukosit dan respon limfosit.
Endokrin dan regulasi neuropeptida: limfosit memiliki reseptor terhadap banyak hormon seperti insulin,
tiroksin, growth hormon dan somastostatin. Hormon-hormon tersebut dilepas
selama stres, memodulasi fungsi sel T dan B yang kompleks yang tergantung dari
kadar mediator.
3. Interaksi antara sistem imun dan neuroendokrin harus berlangsung 2 arah.
Hormon dan neurotransmiter merupakan messenger molekul dari sistem neuroendokrin ke sistem imun apabila ada perubahan dari
lingkungan misalnya stres, sebaliknya sitokin berfungsi serupa pada
sistem imun terhadap sistem neuroendokrin apabila ada infeksi mikroorganisme (
antigen ), buktinya:
Tikus C57/BL adalah jenis yang resisten terhadap infeksi parasit
protozoa Leishmania major, untuk itu diperlukan sistem imun spesifik
seluler berupa dikeluarkanya substansi sitokin berupa IL-2 (Interleukin 2 ) dan
IFN- ( Interferon ) oleh sel limfosit T. Dan
ternyata tikus ini adalah jenis yang menunjukkan respon yang rendah terhadap
hormon kortikosteroid.
Sebaliknya tikus BALB/c sangat peka terhadap infeksi parasit ini
karena ternyata jenis tikus ini menunjukkan respon yang tinggi terhadap hormon
kortikosteroid. Padahal hormon ini justru menyebabkan tertekannya sistem imun
seluler, sehingga tidak terbentuk substansi sitokin ( IL-2 dan IFN- ) .
4. Pengaruh terhadap proses fisiologi lainnya akibat aktivasi sistem imun
Adanya respon akut yang ditunjukkan berupa kerusakan jaringan setelah
terjadinya infeksi sebetulnya merupakan manifestasi dari tubuh dalam rangka
mencapai homeostasis. Setelah infeksi maka sistem imun akan teraktivasi dan
akan melepaskan substansi sitokin seperti IL-1, IL-6 dan
Interferon.Ternyata sitokin-sitokin ini dengan sistem saraf pusat sebagai
mediator, menghasilkan gejala klinis yang bersifat fisiologis. Misalnya IL-1
dan IL-6 menyebabkan demam dan tidak ada nafsu makan, bahkan IL-6 menyebabkan kelumpuhan
dan depresi, begitu juga dengan interferon dapat menyebabkan demam. anoreksia
dan vomiting. Semua jenis respon tersebut di atas sering disebut “ sickness
behaviour”, dan sesungguhnya karena gejala-gejala seperti inilah yang
menyebabkan imunoterapi menggunakan sitokin sering dihindari.
Dari penjelasan diatas yang didukung oleh data empiris ,maka hipotesis itu
diterima sebagai konsep baru dari sistem imun. Tetapi dalam hal ini konsep yang
lama tentang sistem imun tidak ditinggalkan, karena pada dasarnya konsep baru
tersebut hanya sebagai pengembangan konsep lama. Kemudian sesuai dengan
ciri-ciri spesifik dari pengetahuan maka dari hasil penelitian tersebut manusia
berusaha untuk memanfaatkannya, atau sering dikatakan bahwa dengan ilmu
manusia mencoba memanipulasi dan menguasai alam, yaitu dengan cara
memanipulasi sistem imun dengan pemberian hormon atau sitokin untuk pengobatan
atau imunoterapi.
Dengan teknik rekombinan DNA, sitokin dapat diproduksi dalam jumlah besar.
Sesuai dengan peranan biologiknya, maka sitokin dapat digunakan sebagai sebagai
pengganti komponen sistem imun yang defisien atau untuk mengerahkan sel-sel
yang diperlukan dalam menanggulangi defisiensi imun, merangsang sel sistem imun
dalam respons terhadap tumor, infeksi virus atau bakteri yang berlebihan.
Antisitokin telah digunakan untuk mengontrol penyakit autoimun dan pada keadaan
dengan sistem imun yang terlalu aktif. Terapi hormon juga banyak dilakukan pada
manusia, tetapi untuk hewan hal ini sering memberikan efek samping tidak baik
bagi manusia, terutama ternak yang dagingnya dikonsumsi manusia berupa
residu hormon.
D. STRUKTUR DAN FUNGSI IMUNOGLOBULIN
1. Struktur Imunoglobulin
Imunoglobulin
atau antibodi adalah sekelompok glikoprotein yang terdapat dalam serum atau cairan
tubuh pada hampir semua mamalia. Imunoglobulin termasuk dalam famili
glikoprotein yang mempunyai struktur dasar sama, terdiri dari 82-96%
polipeptida dan 4-18% karbohidrat. Komponen polipeptida membawa sifat biologik
molekul antibodi tersebut. Molekul antibodi mempunyai dua fungsi yaitu mengikat
antigen secara spesifik dan memulai reaksi fiksasi komplemen serta pelepasan
histamin dari sel mast.
Imunoglobulin
dibagi menjadi 5 kelompok dalam bentuk gammaglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD, IgE)
dan dapat dipisahkan melalui proses elektroforesa. Bila seseorang
terkontaminasi dengan antigen, maka akan terjadi proses imunoglobulin
(antibodi) dan dengan kontaminasi yang lebih jauh dengan antigen yang sama akan
terbentuk kekebalan.
Seperti
sudah dipaparkan diatas, pada manusia dikenal 5 kelas imunoglobulin. Tiap kelas
mempunyai perbedaan sifat fisik, tetapi pada semua kelas terdapat tempat ikatan
antigen spesifik dan aktivitas biologik berlainan. Struktur dasar imunoglobulin
terdiri atas 2 macam rantai polipeptida yang tersusun dari rangkaian asam amino
yang dikenal sebagai rantai H (rantai berat) dengan berat molekul 55.000 dan
rantai L (rantai ringan) dengan berat molekul 22.000. Tiap rantai dasar
imunoglobulin (satu unit) terdiri dari 2 rantai H dan 2 rantai L. Kedua rantai
ini diikat oleh suatu ikatan disulfida sedemikian rupa sehingga membentuk
struktur yang simetris. Yang menarik dari susunan imunoglobulin ini adalah
penyusunan daerah simetris rangkaian asam amino yang dikenal sebagai daerah
domain, yaitu bagian dari rantai H atau rantai L, yang terdiri dari hampir 110
asam amino yang diapit oleh ikatan disulfid interchain, sedangkan ikatan antara
2 rantai dihubungkan oleh ikatan disulfid interchain. Rantai L mempunyai 2 tipe
yaitu kappa dan lambda, sedangkan rantai H terdiri dari 5 kelas, yaitu rantai G
(γ), rantai A (α), rantai M (μ), rantai E (ε) dan rantai D (δ). Setiap rantai
mempunyai jumlah domain berbeda. Rantai pendek L mempunyai 2 domain; sedang
rantai G, A dan D masing-masing 4 domain, dan rantai M dan E masing-masing 5
domain.
Rantai dasar
imunoglobulin dapat dipecah menjadi beberapa fragmen. Enzim papain memecah
rantai dasar menjadi 3 bagian, yaitu 2 fragmen yang terdiri dari bagian H dan
rantai L. Fragmen ini mempunyai susunan asam amino yang bervariasi sesuai
dengan variabilitas antigen. Fab memiliki satu tempat tempat pengikatan antigen
(antigen binding site) yang menentukan spesifisitas imunoglobulin. Fragmen lain
disebut Fc yang hanya mengandung bagian rantai H saja dan mempunyai susunan
asam amino yang tetap. Fragmen Fc tidak dapat mengikat antigen tetapi memiliki
sifat antigenik dan menentukan aktivitas imunoglobulin yang bersangkutan,
misalnya kemampuan fiksasi dengan komplemen, terikat pada permukaan sel
makrofag, dan yang menempel pada sel mast dan basofil mengakibatkan degranulasi
sel mast dan basofil, dan kemampuan menembus plasenta.
Enzim pepsin
memecah unit dasar imunoglobulin tersebut pada gugusan karboksil terminal
sampai bagian sebelum ikatan disulfida (interchain) dengan akibat kehilangan
sebagian besar susunan asam amino yang menentukan sifat antigenik determinan,
namun demikian masih tetap mempunyai sifat antigenik. Fragmen Fab yang tersisa
menjadi satu rangkaian fragmen yang dikenal sebagai F(ab2) yang mempunyai 2
tempat pengikatan antigen.
2. Klasifikasi Imunoglobulin
Klasifikasi
imunoglobulin berdasarkan kelas rantai H. Tiap kelas mempunyai berat molekul,
masa paruh, dan aktivitas biologik yang berbeda. Perbedaan antar subkelas lebih
sedikit dari pada perbedaan antar kelas.
a.
Imunoglobulin G (Ig G) disebut juga rantai – γ (gamma)
IgG
mempunyai struktur dasar imunoglobulin yang terdiri dari 2 rantai berat H dan 2
rantai ringan L. IgG manusia mempunyai koefisien sedimentasi 7 S dengan berat
molekul sekitar 150.000. Pada orang normal IgG merupakan 75% dari seluruh
jumlah imunoglobulin.
Imunoglobulin
G terdiri dari 4 subkelas, masing-masing mempunyai perbedaan yang tidak banyak,
dengan perbandingan jumlahnya sebagai berikut: IgG1 40-70%, IgG2 4-20%, IgG3
4-8%, dan IgG4 2-6%. Masa paruh IgG adalah 3 minggu, kecuali subkelas IgG3 yang
hanya mempunyai masa paruh l minggu. Kemampuan mengikat komplemen setiap
subkelas IgG juga tidak sama, seperti IgG3 > IgGl > IgG2 > IgG4.
Sedangkan IgG4 tidak dapat mengikat komplemen dari jalur klasik (ikatan C1q)
tetapi melalui jalur alternatif. Lokasi ikatan C1q pada molekul IgG adalah pada
domain CH2.
Sel makrofag
mempunyai reseptor untuk IgG1 dan IgG3 pada fragmen Fc. Ikatan antibodi dan
makrofag secara pasif akan memungkinkan makrofag memfagosit antigen yang telah
dibungkus antibodi (opsonisasi). Ikatan ini terjadi pada subkelas IgG1 dan IgG3
pada lokasi domain CH3.
Bagian Fc dari IgG mempunyai bermacam proses biologik dimulai dengan kompleks
imun yang hasil akhirnya pemusnahan antigen asing. Kompleks imun yang terdiri
dari ikatan sel dan antibodi dengan reseptor Fc pada sel killer memulai respons
sitolitik (antibody dependent cell-mediated cytotoxicity = ADCC) yang ditujukan
pada antibodi yang diliputi sel. Kompleks imun yang berinteraksi dengan sel limfosit
pada reseptor Fc pada trombosit akan menyebabkan reaksi dan agregasi trombosit.
Reseptor Fc memegang peranan pada transport IgG melalui sel plasenta dari ibu
ke sirkulasi janin.
b.
Imunoglobulin M disebut juga rantai –µ (mu)
Imunoglobulin
M merupakan 10% dari seluruh jumlah imunoglobulin, dengan koefisien sedimen 19
S dan berat molekul 850.000-l.000.000. Molekul ini mempunyai 12% dari beratnya
adalah karbohidrat. Antibodi IgM adalah antibodi yang pertama kali timbul pada
respon imun terhadap antigen dan antibodi yang utama pada golongan darah secara
alami. Gabungan antigen dengan satu molekul IgM cukup untuk memulai reaksi
kaskade komplemen.
IgM terdiri dari pentamer unit monomerik dengan rantai μ dan CH. Molekul
monomer dihubungkan satu dengan lainnya dengan ikatan disulfida pada domain CH4
menyerupai gelang dan tiap monomer dihubungkan satu dengan lain pada ujung
permulaan dan akhirnya oleh protein J yang berfungsi sebagai kunci.
c. Imunoglobulin A
(IgA) disebut juga rantai –α (alpha).
Adalah Imunoglobulin
utama dalam sekresi selektif, misalnya pada susu, air liur, air mata dan dalam
sekresi pernapasan, saluran genital serta saluran pencernaan atau usus (Corpo
Antibodies). Imunoglobulin ini melindungi selaput mukosa dari serangan bakteri
dan virus. Ditemukan pula sinergisme antara IgA dengan lisozim dan komplemen
untuk mematikan kuman koliform. Juga kemampuan IgA melekat pada sel polimorf
dan kemudian melancarkan reaksi komplemen melalui jalan metabolisme alternatif.
Tiap molekul
IgA sekretorik berbobot molekul 400.000 terdiri atas dua unit polipeptida dan
satu molekul rantai-J serta komponen sekretorik. Sekurang-kurangnya dalam serum
terdapat dua subkelas IgA1 dan IgA2. Terdapat dalam serum terutama sebagai
monomer 7S tetapi cenderung membentuk polimer dengan perantaraan polipeptida
yang disintesis oleh sel epitel untuk memungkinkan IgA melewati permukaan
epitel, disebut rantai-J. Pada sekresi ini IgA ditemukan dalam bentuk dimer
yang tahan terhadap proteolisis berkat kombinasi dengan suatu protein khusus,
disebut Secretory Component yang disintesa oleh sel epitel lokal dan juga
diproduksi secara lokal oleh sel plasma.
d. Imunoglobulin D (Ig
D) disebut
juga rantai –δ (delta)
Konsentrasi
IgD dalam serum sangat sedikit (0,03 mg/ml), sangat labil terhadap pemanasan
dan sensitif terhadap proteolisis. Berat molekulnya adalah 180.000. Rantai δ
mempunyai berat molekul 60.000 – 70.000 dan l2% terdiri dari karbohidrat.
Fungsi utama IgD belum diketahui tetapi merupakan imunoglobulin permukaan sel
limfosit B bersama IgM dan diduga berperan dalam diferensiasi sel ini.
e. ImunoglobulinE
(IgE) disebut juga rantai –ε (epsilon)
Didalam
serum ditemukan dalam konsentrasi sangat rendah. IgE apabila disuntikkan ke
dalam kulit akan terikat pada Mast Cells dan Basofil. Kontak dengan antigen
akan menyebabkan degranulasi dari Mast Cells dengan pengeluaran zat amin yang
vasoaktif. IgE yang terikat ini berlaku sebagai reseptor yang merangsang
produksinya dan kompleks antigen-antibodi yang dihasilkan memicu respon alergi
Anafilaktik melalui pelepasan zat perantara.
Pada orang dengan hipersensitivitas alergi berperantara antibodi, konsentrasi
IgE akan meningkat dan dapat muncul pada sekresi luar.
Dihasilkan
pada saat respon alergi seperti asma dan biduran. Peranan IgE belum terlalu
jelas.IgE berukuran sedikit lebih besar dibandingkan dengan molekul IgG dan
hanya mewakili sebagian kecil dari total antibodi dalam darah. Daerah ekor
berikatan dengan reseptor pada sel mast dan basofil dan, ketika dipicu oleh
antigen, menyebabkan sel-sel itu membebaskan histamine dan zat kimia lain yang
menyebabkan reaksi alergi.
Regio Fc
dari IgE terikat pada reseptor pada permukaan sel mast dan basofil. IgE yang
terikat ini bertindak sebagai reseptor antigen yang menstimulasi produksinya sehingga
terbentuk kompleks antigen-antibodi yang memicu terjadinya respon alergi tipe
cepat (anafilaksis) melalui pelepasan mediator. Pada orang dengan
hipersensivitas alergi yang diperantarai antibodi tersebut, IgE meningkat
dengan cepat dan IgE dapat terdapat pada sekresi eksternal. IgE serum juga
meningkat secara tipikal selama infeksi cacing.